Beranda
Artikel Menarik
Tentang Akupunktur
Studi Eksplorasi Akupunktur Untuk Rawatan Kasus COVID-19

Salam Terapi Jarum - Coronavirus COVID-19 telah melahirkan ancaman baru yang serius bagi umat manusia sejak kasus pertama dilaporkan muncul di Wuhan, Cina pada tanggal 31 Desember 2019.

Pada akhir Februari 2020 virus ini telah menyebar ke 57 negara dengan jumlah hampir 86.000 kasus, dan saat riset ini ditulis belum ada vaksinasi yang efektif.

Obat herbal Chinese Medicine sudah dicoba digunakan dalam penanganan epidemi ini dengan hasil yang menggembirakan, tetapi terdapat efek samping pada gangguan fungsi pencernaan pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran akupunktur dalam mengobati COVID-19 dengan menyelidiki literatur yang relevan saat ini bersama dengan teks pengobatan klasik tiongkok tentang epidemi.

Berdasarkan analisis riset ini, akupunktur disarankan untuk digunakan oleh praktisi sebagai rawatan Covid-19.

Coronaviruses (CoV) dapat menyebabkan penyakit parah seperti sindrom pernapasan akut (SARS-CoV) atau sindrom pernapasan sejenis yang pernah mewabah di Timur Tengah (MERS-CoV).

Kasus pertama coronavirus zoonosis novel (nCoV) dilaporkan muncul di Wuhan, Cina pada 31 Desember 2019 dan sekarang telah menjadi ancaman serius bagi umat manusia.

Satu bulan sejak kemunculannya, nCov melahirkan masalah kesehatan global dan diganti namanya menjadi COVID-19 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) .

Pada 29 Februari (saat penulisan riset), 38 hari setelah penutupan Wuhan, Cina memiliki 79.394 kasus yang dilaporkan dan 2.838 kematian, sementara 85.641 kasus telah dilaporkan secara global di 57 negara dengan 2.933 kematian.

Di antara mereka yang terinfeksi, 20% berada dalam perawatan intensif. WHO telah mengeluarkan 675 juta dollar untuk membantu memerangi keadaan darurat global ini pada kurun periode dari Februari hingga April, dan juga telah mengumpulkan 300 ahli kesehatan profesional terkemuka secara internasional untuk mengembangkan vaksin sebelum COVID-19 menjadi pandemi.

Meskipun ahli pengobatan Tiongkok tampaknya tidak dilibatkan dalam upaya ini, pada kenyataannya banyak penelitian dari rumah sakit yang terkena dampak di Cina melaporkan bahwa pengobatan Chinese Medicine telah memainkan peran penting dalam pertempuran melawan COVID-19.

Yang mengecewakan, menurut beberapa akademisi Tiongkok, di beberapa wilayah, akupunktur tidak digunakan sebagai teknik perawatan selama infeksi, tetapi hanya dipakai selama periode pemulihan pasien.

Pengobatan Tiongkok kuno tercatat memiliki riwayat lebih dari dua ribu tahun dalam memerangi epidemi, dengan akupunktur memainkan peran penting bersama obat herbal Chinese Medicine.

Misalnya, Wu Youke (1580-1660) dalam teksnya Zhen Jing (Kaidah Akupunktur) menunjukkan bagaimana Qi jahat bisa menular menyerang tubuh manusia lain melalui mulut dan hidung dan kemudian menembus ke dalam organ, serta mencatat titik akupuntur yang harus digunakan dalam perawatan kasus ini.

Penelitian ini memberikan strategi akupunktur untuk mengobati COVID-19 dan didasarkan pada teori pengobatan Tiongkok klasik dan literatur saat ini.

Tujuan artikel ini adalah untuk memberi pelita baru pada perjuangan kesehatan yang mendesak ini, dan untuk membantu praktisi akupunktur berkontribusi pada masyarakat dan komunitas lokal mereka.


Manifestasi Klinis COVID-19

Chen dan Wang (Peneliti/pengamat kasus Covid-19 di Wuhan) masing-masing melaporkan serangkaian kasus di dua rumah sakit yang terpisah 10 mil di Wuhan selama Januari 2020, yang mencakup total 237 subjek dengan COVID-19.

Hasil studi Chen mendokumentasikan pasien yang terinfeksi menunjukkan tanda-tanda demam (83 %) dan batuk (82 %), diikuti oleh dyspnoea (31 %), pusing (11 %) dan sakit kepala (8 %) , sementara 1 sampai 5 % pasien menunjukkan sakit tenggorokan, rinorea, nyeri dada, diare, mual dan muntah; 68 % pasien adalah laki-laki, 51 % mengalami penyakit kronis dan 75 % menderita pneumonia bilateral.

Studi Wang melaporkan gejala utama adalah demam (98,6%), kelelahan (69,6%), batuk kering (59,4%), mialgia (34,8%) dan dyspnoea (31,2%), dengan 54,3% pasien adalah laki-laki. Sebagian besar pasien dalam dua studi menerima perawatan antibiotik dan antivirus.

Para penulis ini menyimpulkan bahwa hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular dan penyakit penyakit berbahaya adalah kombinasi umum yang terdapat dari infeksi COVID-19.

Wang menekankan bahwa tindakan yang terbaik terhadap COVID-19 adalah menghindari potensi infeksi sejak awal, karena obat yang tersedia saat ini belum efektif.

Beberapa kesimpulan yang layak diambil dari dua laporan penelitian ini:
  • Ada perbedaan dalam manifestasi klinis utama penyakit seperti yang diuraikan dalam dua studi mereka.
  • Sejumlah pasien menunjukkan gejala atipikal, seperti diare dan mual.
  • Komplikasi besar muncul selama rawat inap, seperti sindrom gangguan pernapasan akut, aritmia dan syok (Wang).
  • Teks pengobatan klasik Tiongkok kuno yang menggambarkan bagaimana epidemi telah diperangi sepanjang sejarah Tiongkok, dapat digunakan untuk mengatasi gejala utama pasien

Konsep Chinese Medicine Terhadap Epidemi

Istilah asli Chinese Medicine untuk epidemi adalah, Li Yi (戾 疫, secara harfiah ‘wabah ganas’), memiliki catatan sejarah lebih dari dua ribu tahun.

Pada 524 SM, dinasti Zhou, raja Jing, kerap dinasihati karena gaya hidupnya yang mewah, yang menempatkannya pada risiko tertular Li (戾, Qi jahat yang ganas) .

Mozi (pada abad ke-4 SM) juga menyebutkan kata Li Yi, yang kemudian ditafsirkan oleh Johnston (2010) sebagai 'penyakit sampar dan wabah'.

Epidemi skala besar telah muncul di Tiongkok puluhan kali sejak awal milenium pertama, sering terjadi pada tahun-tahun dingin dan lembab sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep filosofi lima unsur Chinese Medicine.

Sejumlah besar ahli ilmu pengobatan di Tiongkok kuno selama atau setelah bencana wabah melanda biasanya berhasil mencetuskan kaidah pengobatan yang kemudian menjadi terkenal.

Zhang Zhong jing (150-129), yang menderita karena kehilangan banyak anggota keluarga, menyusun kitab pengobatan Shang Han Lun (Risalah tentang Penyakit Dingin) di mana ia menguraikan bahwa dingin, angin, atau lembab dapat menyerang tubuh manusia, menembus dari tubuh luar (saluran YANG) ke dalam saluran Yin atau organ. Dia menyatakan bahwa Li Yi adalah akut dan menular, gejalanya berkembang jauh lebih cepat daripada shang han (penyakit dingin) biasa, dan dapat dengan mudah berkembang ke tahap kritis - bahkan fatal.

Penting bagi pengobat untuk melakukan intervensi secara akurat dan cepat pada penyakit penyakit seperti itu untuk dapat membalikkan situasi kritis pasien.

Sebelum dinasti Ming, kebanyakan cendekiawan pengobatan Tiongkok kuno meyakini bahwa Li Yi disebabkan oleh flu, tetapi gagasan ini ditentang oleh para cendekiawan Ming seperti Wu Youke setelah mereka mengalami beberapa epidemi yang melanda Tiongkok di era mereka, seperti pada tahun 1641. Wu berpendapat bahwa dingin hanya hadir di musim dingin, sedangkan epidemi hangat (wen yi 温疫) dapat hadir di semua musim, dan bahwa Li Yi mewakili Qi eksogen yang sangat kejam yang berbeda dari enam bentuk Qi eksogen biasa.

Wu berpikir ada penyakit epidemi akut yang munculnya akibat adanya hangat yang tidak sesuai musim, dan harus diobati dengan obat herbal.

Dia mengutuk beberapa kalangan pengobat profesional di era nya karena mereka berpendapat epidemi adalah shang han dan akibatnya mereka gagal dalam tugas mereka untuk merawat pasien secara memadai.

Teori penyakit epidemi akibat hangat ini menyebabkan banyak kontroversi; misalnya, cendekiawan dinasti Qing Ye Lin dan Li Guanxian mereka berpikir Wu mungkin telah kacau pemikirannya dalam menyimpulkan penyakit hangat dengan penyakit epidemi karena kesamaan fonetik dari karakter mereka (温 hangat dan 瘟 epidemi - karakter yang tidak ada dalam aksara Tiongkok kuno).

Namun, karakter aksara 瘟 sebenarnya tidak hanya ditampilkan sebagai salah satu entri dalam kamus sajak Tiongkok Jiyun (1037) tetapi juga sebenarnya secara khusus diidentifikasi dan dijelaskan oleh Wu dalam bab Qi lainnya dalam tulisannya Wen Yi Lun (Rawatan epidemi hangat) .

Kontroversi hangat versus dingin ini masih belum terselesaikan, termasuk kesimpulan Wu bahwa obat herbal adalah satu-satunya obat untuk penyakit epidemi versinya ini.

Terlepas dari apakah Wu benar atau tidak pada bahasan ini, pengaruh iklim di Wuhan pada penyebaran COVID-19 baru-baru ini dapat dipahami dengan menggunakan teorinya.

Akademisi kedokteran Tiongkok, Tong dan juga banyak ahli kedokteran klasik Tiongkok lainnya percaya bahwa iklim di Wuhan pada bulan Desember 2019, dengan hujan berguyur terus-menerus dan ternyata juga ada kehangatan yang tidak normal sehingga menyebabkan epidemi menumbuhkan Qi dingin dan lembab yang merusak Qi manusia, terutama di Paru-paru dan Limpa.

Fakta-fakta yang menjadi dasar Qi Dingin dan Lembab ini adalah:
  1. Pasien kebanyakan mengeluh kelelahan, nafsu makan yang buruk, mual, muntah, kenyang, diare atau sembelit, yang mengarah ke dingin-basah yang mempengaruhi Limpa dan Paru-paru.
  2. Pelapisan lidah pasien sangat tebal dan berminyak (digambarkan sebagai lapisan Fu Tai 腐 , lapisan lidah yang terlihat seperti lendir dadih kacang busuk), menunjukkan kelembaban dan kekeruhan yang parah.

Tong dan timnya telah menyusun kaidah umum berupa empat diferensiasi dan protokol perawatan Chinese Medicine untuk kasus ini, sebagai berikut:
  1. Basah-dingin mengganjal Paru-paru;
  2. Toksisitas epidemi yang menghalangi paru-paru;
  3. Obstruksi viseral menyebabkan kolaps;
  4. Defisiensi Paru dan Limpa.

Selanjutnya, Wang, Ma, dan Chen telah memperluas kaidah umum ini dengan resep herbal yang rinci untuk disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.

Prinsip utama rawatan adalah menghangatkan YANG, membubarkan dingin dan menghilangkan kelembapan.

Para ahli pengobatan Chinese Medicine di Hubei menandai virus COVID-19 sebagai bentuk 'dingin yang lembut dan takut pada kehangatan'.

Sumber :
M. Imam Affan T, Poltekes RS Dr. Soepraoen, Bojonegoro Jawa Timur

Penulis blog

Tidak ada komentar