Dalam beberapa tahun terakhir, istilah Thibbun Nabawi semakin populer di tengah masyarakat. Banyak seminar, pelatihan, dan bahkan pengobatan alternatif yang mengangkat label ini sebagai daya tarik utama. Sayangnya, seiring meningkatnya popularitas istilah tersebut, muncul pula berbagai kesalahpahaman dalam memaknainya. Tidak sedikit orang yang menyederhanakan Thibbun Nabawi hanya sebatas mengonsumsi madu, habbatussauda, atau menjalani bekam. Bahkan, ada anggapan bahwa siapa pun yang menjual produk herbal sudah otomatis menjalankan praktik pengobatan ala Nabi.
Namun, apakah benar Thibbun Nabawi hanya terbatas pada madu, habbatussauda, atau bekam?
Mari kita bahas lebih dalam.
Apa Itu Thibbun Nabawi Sebenarnya?
Secara harfiah, Thibbun Nabawi berarti “pengobatan Nabi.” Tapi maknanya tidak sesempit itu. Para ulama dan tokoh kedokteran Islam sejak berabad-abad lalu sudah mendefinisikan bahwa Thibbun Nabawi adalah ilmu pengobatan yang landasannya berasal dari wahyu, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Ilmu kedokteran Islam yang berlandaskan keimanan kepada Allah, dan bukan semata teori medis.
- Metode pengobatan yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ, bukan hasil eksperimen biasa.
- Sebuah pendekatan holistik terhadap kesehatan yang menggabungkan ilmu, akhlak, dan spiritualitas.
Istilah Thibbun Nabawi sendiri mulai digunakan secara luas oleh para dokter Muslim sekitar abad ke-13 Masehi. Mereka ingin membedakan antara ilmu kedokteran yang dipandu wahyu dengan ilmu kedokteran yang hanya berdasarkan akal manusia semata. Maka, pengobatan ala Nabi ini bukan hanya tentang "apa yang dikonsumsi", tapi apa prinsip dasarnya.
Thibbun Nabawi Adalah Kerangka, Bukan Sekadar Metode
Kesalahan umum yang terjadi adalah menyempitkan makna Thibbun Nabawi hanya pada beberapa metode tertentu, seperti:
- Bekam,
- Madu,
- Habbatussauda,
- Minyak zaitun,
- Kurma ajwa, dan sejenisnya.
Padahal, semua pengobatan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan bersumber dari ilmu yang benar, bisa termasuk dalam ruang lingkup Thibbun Nabawi. Misalnya:
- Pengobatan medis modern, jika tidak mengandung unsur haram dan tidak merusak.
- Akupunktur, jika dilakukan sesuai kaidah Islam dan bertujuan untuk kesembuhan.
- Pijat terapi, terapi nutrisi, bahkan pengobatan psikosomatis atau kesehatan mental.
Semuanya bisa dimasukkan dalam praktik Thibbun Nabawi selama prinsip dasarnya tetap berpijak pada keimanan, keilmuan, dan keikhlasan.
Thibbun Nabawi Adalah Integrasi Ilmu
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa kedokteran Islam atau Thibbun Nabawi merupakan hasil integrasi berbagai ilmu pengobatan dunia—seperti pengobatan Yunani, Persia, India, China, dan Mesir—yang dipandu oleh wahyu ilahi. Artinya, umat Islam tidak anti terhadap ilmu pengetahuan lain, justru memadukan dan menyaringnya dalam bingkai wahyu.
Sejarah mencatat bagaimana para dokter Muslim seperti:
- Ibnu Sina, dengan karyanya Al-Qanun fi at-Tibb (Canon of Medicine),
- Ar-Razi, yang dikenal dengan metode klinik yang sistematis,
- Dan banyak tokoh lainnya yang menggabungkan pengetahuan medis dunia dengan panduan syariat Islam.
Para ulama dan dokter Muslim terdahulu tidak membatasi diri hanya pada metode "tradisional", tetapi mengeksplorasi ilmu pengobatan dari mana pun, selama bisa digunakan untuk kebaikan umat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Kesehatan dalam Islam Bukan Sekadar Obat
Pengobatan dalam Islam tidak hanya berbicara tentang apa yang kita minum atau konsumsi. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa kesehatan adalah tanggung jawab spiritual dan fisik. Banyak aspek yang menjadi bagian dari pengobatan ala Nabi, di antaranya:
- Menjaga pola makan (sebagaimana beliau tidak berlebihan dalam makan),
- Tidur yang cukup dan teratur,
- Menjaga kebersihan,
- Menjauhi stres dan amarah,
- Berdzikir dan berdoa,
- Menjaga hati dari sifat-sifat buruk seperti dengki, iri, dan riya.
Maka dari itu, meminum habbatussauda tanpa memperbaiki pola makan, atau rutin bekam tetapi masih bergelimang stres dan dosa, bukanlah praktik pengobatan yang holistik menurut Islam.
Praktik Thibbun Nabawi Perlu Ilmu, Bukan Sekadar Semangat
Menjadi praktisi Thibbun Nabawi bukan hanya bermodal niat baik atau label produk. Diperlukan pemahaman ilmu yang benar, bimbingan guru, dan etika profesi. Tidak semua orang bisa langsung membekam hanya karena sudah membeli alatnya. Tidak semua orang bisa memberi saran herbal hanya karena pernah membaca manfaatnya.
Kesalahan yang paling sering terjadi adalah menyamaratakan semua orang dengan solusi yang sama, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi tubuh, penyakit, dan psikologis pasien.
Maka, belajar ilmu dengan benar dan terus meningkatkan kapasitas diri adalah bagian dari Sunnah Rasulullah ﷺ juga. Islam tidak menganjurkan fanatisme metode, melainkan hikmah dan pertimbangan ilmiah.
Thibbun Nabawi: Warisan Besar yang Terpinggirkan
Sayangnya, ketika penjajahan dan sekularisme menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, ilmu-ilmu Islam mulai tersingkir, termasuk dalam bidang kedokteran. Pada abad ke-19, banyak sekolah kedokteran di Barat menghapus unsur Islam dalam kurikulumnya dan menggantinya dengan pendekatan materialistik dan sekuler. Dunia Islam pun ikut larut, dan Thibbun Nabawi dianggap sebagai “pengobatan kuno yang tidak ilmiah.”
Padahal, konsep pengobatan Islam sangat rasional, ilmiah, dan sesuai fitrah manusia. Hanya saja, perlu digali kembali, diperbarui bahasanya, dan dikembangkan dengan pendekatan zaman kini tanpa meninggalkan akar spiritualnya.
Penutup: Saatnya Kembali ke Thibbun Nabawi yang Utuh
Kini saatnya umat Islam menyadari bahwa Thibbun Nabawi bukan sekadar istilah jualan atau tren semata. Ia adalah warisan Rasulullah ﷺ yang mulia, yang mengajarkan bahwa:
- Tubuh adalah amanah,
- Kesembuhan berasal dari Allah,
- Ikhtiar harus dengan ilmu dan adab,
- Dan pengobatan harus seimbang antara fisik, jiwa, dan ruh.
Sabda Nabi ﷺ:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”
(HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)
Kuat bukan hanya dalam fisik, tapi juga dalam cara berpikir, cara berikhtiar, dan cara menyikapi sakit. Mari kita belajar dan mengamalkan Thibbun Nabawi dengan lebih utuh—bukan hanya dari metode, tetapi juga dari niat dan akhlak kita sebagai hamba Allah.
Tidak ada komentar